Sabtu, 21 Juni 2014

SITI ALFIAH - OJK

BI Alihkan Fungsi Pengaturan dan
Pengawasan Bank ke Otoritas Jasa
Keuangan (OJK)

Terhitung mulai 31 Desember 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan
bank, yang sebelumnya dilakukan oleh Bank
Indonesia (BI) dialihkan ke lembaga Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). Serah terima fungsi pengawasan
bank tersebut dilakukan pada hari ini (31/12) di
Jakarta, dan dilakukan serentak di seluruh
Indonesia. Di Jawa Timur, acara penyerahan fungsi
pengawasan tersebut dilakukan di Gedung Bank
Indonesia Wilayah IV Jawa Timur, antara Kepala
Perwakilan BI Wilayah IV Jawa Timur, Dwi Pranoto,
kepada Kepala Regional OJK Wilayah III, Adie
Soesetyantoro. Adapun wilayah kerja Kantor
Regional Wilayah III OJK meliputi Jawa Timur, Bali,
dan Nusa Tenggara.
Meski fungsi pengawasan bank telah beralih ke OJK,
Bank Indonesia sebagai bank sentral masih tetap
dapat melakukan pengawasan perbankan, khususnya
terkait dengan kehati-hatian perbankan secara
makro (makroprudensial) yang akan diarahkan pada
pengelolaan risiko sistemik termasuk risiko kredit,
risiko likuiditas, risiko pasar dan penguatan struktur
permodalan. Kebijakan makroprudensial juga
diarahkan untuk memperkuat komposisi kredit
kepada sektor-sektor produktif yang berorientasi
ekspor dan menyediakan barang substitusi impor
serta mendukung upaya peningkatan kapasitas
perekonomian.
Beberapa instrumen kebijakan yang bersifat
makroprudensial tersebut antara lain
penyempurnaan Giro Wajib Minimum (GWM) syariah,
Loan to Value (LTV), Liquidity Coverage Ratio (LCR)
dan penguatan struktur permodalan dengan
mengakomodasi unsur-unsur risiko yang lebih
kompleks dan komprehensif. Sementara dalam kaitan
kondisi perbankan secara mikro, atau institusi,
pengawasan sepenuhnya dilakukan oleh OJK.
Bank Indonesia dan OJK akan terus berkoordinasi dan
bekerja sama menciptakan sistem keuangan yang
kokoh untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan, serta melakukan komunikasi yang
lebih erat dengan stakeholders, yang ke depannya
akan semakin bertambah karena mencakup pula
lembaga-lembaga keuangan mikro. Sementara dalam
lingkup penguatan stabilitas sistem keuangan,
penguatan koordinasi makro-mikro antara Bank
Indonesia dengan OJK menjadi penting terutama
dalam mencegah dan mengatasi terjadinya krisis dan
meningkatkan kualitas Crisis Management Protocol
(CMP).
Sesuai Undang-Undang (UU) No.23 tahun 1999 yang
diperbarui dengan UU No.3 tahun 2004 tentang Bank
Indonesia dan UU No.21 tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan, fungsi pengawasan bank yang
dialihkan di Jawa Timur, meliputi 83 Bank Umum, 8
Bank Umum Syariah (BUS), 9 Unit Usaha Syarian
(UUS), 352 Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan 31
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), beralih
dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan
(OJK).
Sebelum dilaksanakan pengalihan tersebut, kinerja
perbankan sampai November 2013 telah memberikan
kontribusi yang signifikan bagi perekonomian Jawa
Timur. Tercatat total aset perbankan di Jawa Timur
mencapai Rp. 425,01 triliun atau 6,96% dari total
asset perbankan nasional. Penyaluran kredit
mencapai Rp301,51 triliun dari Dana Pihak Ketiga
(DPK) yang berhasil dihimpun sebesar Rp325,75
triliun. Sebagian besar penyaluran kredit ditujukan
untuk sektor produktif yang mendukung
pertumbuhan ekonomi Jawa Timur yang mencapai
73,51% dari total kredit. Kondisi tersebut didukung
pula dengan tingkat risiko kredit yang relatif rendah
tercermin dari jumlah non performing loan (NPL)
sebesar 1,92%. Peranan perbankan dalam mendorong
pertumbuhan inklusif di Jawa Timur tercermin pula
dari peningkatan kredit UMKM secara tahunan
sebesar 20,22% sehingga mencapai Rp86,87 triliun
dengan NPL sebesar 3,50%.
Kinerja perbankan tersebut menjadi salah satu
pendorong tercapainya pertumbuhan ekonomi Jawa
Timur. Pentingnya peranan perbankan sebagai
lembaga intermediasi membutuhkan pengawasan dari
berbagai pihak baik internal maupun eksternal
(masyarakat dan regulator) untuk memastikan
terciptanya aktivitas perbankan sehat dan aman.
Dengan beralihnya fungsi pengawasan bank ke OJK,
arah kebijakan Bank Indonesia secara nasional ke
depan lebih ditujukan pada upaya mencapai dan
memelihara stabilitas nilai Rupiah yang
diimplementasikan melalui bauran kebijakan di
bidang moneter, makroprudensial, dan
pengembangan sistem pembayaran. Sementara di
daerah, Bank Indonesia Wilayah IV Jatim akan terus
berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk
mengendalikan inflasi daerah, menjadi mitra dalam
membangun ekonomi daerah, dan bekerja sama
dengan lembaga keuangan bank maupun non bank
dalam rangka peningkatan akses keuangan seluruh
lapisan masyarakat di Jawa Timur, serta
menciptakan sistem pembayaran yang aman, lancar
dan efisien melalui operasional kliring, Real Time
Gross Settlement (RTGS) dan pengedaran uang.

OJK TERHADAP BANK SYARIAH

Perbankan konvensional sebagai bagian dari sistem ekonomi
kapitalis yang diterapkan di Indonesia tidak sepi dari
persoalan moral hazard pengelola perbankan itu sendiri.
Namun munculnya perilaku menyimpang di dunia perbankan
tidak terlepas dari sistem perbankan konvensional yang
senantiasa membuka celah terjadinya penyimpangan. Berbagai
kasus yang terjadi di perbankan mulai dari pembobolan kartu
ATM, deposito dan tabungan nasabah, kasus debt collector,
dan kasus-kasus lain seperti kasus Malinda Dee, manager di
Citibank yang membobol uang nasabahnya sendiri, telah
menunjukkan betapa persoalan perbankan kita tak kunjung
menampakkan perbaikan yang berarti. Tetapi persoalan moral
hazard tidak hanya monopoli perbankan dan lembaga keuangan
konvensional, di lembaga keuangan dan perbankan syariah.
Dengan maraknya aktivitas ekonomi Islam di Indonesia
membuat nasabah (calon nasabah) yang ingin memperoleh
keberkahan lalu menyimpan uangnya di lembaga keuangan
syariah. Pencantuman nama syariah membuat para nasabah
tersebut secara psikologis merasa nnyaman, tapi apa lacur,
ternyata oknum pengelola lembaga keuangan melakukan wan
prestasi atau tidak amanah dan secara licik memanfaatkan
kepolosan nasabah bagi keuntungan pribadi oknum tersebut.
Alhasil, banyak uang nasabah dibawa kabur dan perilaku
pendiri lemaga keuangan tersebut sungguh tidak
mencerminkan pribadi Muslim yang takut akan siksaan dari
Allah kelak apabila melakukan pendzholiman terhadap nasabah.
Silih bergantinya kasus yang terjadi di dunia perbankan dan
lembaga keuangan yang melibatkan dana masyarakat
merupakan cermin dari tidak sempurnanya manajemen
perbankan dan lembaga keuangan di Tanah Air ini dalam
melindungi kepentingan nasabah yang telah memercayakan
dananya tersebut untuk dikelola sebagaimana mestinya.
Nasabah menjadi waswas dan tidak tenang serta merasa tidak
aman untuk menyimpankan uangnya di bank dan lembaga
keuangan lain meski diberi embel-embel syariah. Nasabah
menjadi khawatir memanfaatkan produk-produk yang
ditawarkan Karena kasus yang dipaparkan di atas itu cukup
mencerminkan betapa amburadulnya sistem keamanan uang
nasabah.
Sementara itu pihak perbankan cenderung memudahkan
nasabah untuk memiliki kartu kredit tanpa mengukur secara
seksama atas kredibilitas konsumen. Manakala nasabah sudah
memperoleh kartu kredit dan ternyata gagal membayar, maka
biasanya yang dipersalahkan hanya pihak nasabah, padahal
pada saat proses persetujuan nasabah mendapatkan kartu
kredit, pihak Bank tidak melaksanakan kelayakan nasabah itu
dengan baik dan benar. Alhasil, terjadi hal-hal yang tak
diinginkan dengan penyelsaian yang tidak adil karena
ditimpakan sepenuhnya kepada nasabah. Semestinya pihak
perbankan yang memberikan kartu kredit juga dapat
dikenakan sanksi.
Perlu diketahui jika di Singapura 70% pengguna kartu kredit
membayar tagihannya dengan tunai, sementara di Indonesia
sebaliknya, 70% membayar tagihan kartu kredit dengan cara
mencicil atau angsuran. Ini berarti memang kredibilitas
pemilik kartu kredit di negara kita masih dipertanyakan.Dari
data ini amat jelas bahwa semestinya kelayakan untuk
memperoleh kartu kredit perlu diperketat bukan malah
dibiarkan melanggar ketentuan, istilah popular orang betawi
yaitu “yang penting laku urusan belakangan”. Situasi seperti
ini yang amat riskan bagi citra perbankan di Indoesia dan
bukan tidak mungkin berdampak pula pada lembaga perbankan
dan keuangan syariah apalagi karyawan di lembaga syariah
tersebut juga mayoritas berasal dari lembaga perbankan dan
keuangan konvensional.
Lebih lanjut regulator dalam hal ini Bank Indonesia (BI) dan
otoritas jasa keuangan (OJK) wajib melaksanakan pengawasan
yang ketat dan harus bertanggung jawab penuh jika nasabah
menjadi korban kejahatan perbankan/lembaga keuangan. OJK
yang mengawasi pula perbankan syariah wajib memiliki tingkat
moralitas yang tinggi karena bukankah nilai-nilai agama yang
menjadi acuan perbankan syraiah berlandaskan nilai-nilai
agama yang mulia tersebut. Tanggungjawab OJK tentu tidak
hanya di dunia tetapi juga akherat sebagaimana yang diyakini
oleh setiap Muslim yang terkait dengan kegiatan perbankan
syariah ini.
Dalam struktur organisasi perbankan syariah ada satu hal yang
perlu diperhatikan yakni kedudukan dan kewenangan DPS
(dewan pengawas syariah) yang di setiap bank syariah
ditunjuk atau diangkat oleh dewan direksi Padahal DPS
bertugas mengawasi operasional kegiatan bank syariah. Tata
cara ini tentu tidak Islami dalam arti mereka yang akan
mengawasi tetapi malah dilantik oleh mereka yang diawasi.
Aturan soal DPS dalam struktur perbankan syariah ini kiranya
perlu mendapatkan perhatian pihak OJK sebagai pihak memiliki
otoritas mengatur terlaksananya perbankan syariah sesuai
nilai-nilai mulia keagamaan. Sebaiknya DPS masuk dalam
bagian OJK yang memiliki kewenangan mengawasi perbankan
syariah sehingga DPS dianggkat oleh OJK bukan oleh bank yang
bersangkutan. Hal ini untuk mewujudkan azas-azas
profesionalitas yakni good corporate governance (GCG)
sekaligus tentu memenuhi nilai-nilai keagamaan yang
menjunjung tinggi moralitas