Sabtu, 21 Juni 2014

SITI ALFIAH - OJK

BI Alihkan Fungsi Pengaturan dan
Pengawasan Bank ke Otoritas Jasa
Keuangan (OJK)

Terhitung mulai 31 Desember 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan
bank, yang sebelumnya dilakukan oleh Bank
Indonesia (BI) dialihkan ke lembaga Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). Serah terima fungsi pengawasan
bank tersebut dilakukan pada hari ini (31/12) di
Jakarta, dan dilakukan serentak di seluruh
Indonesia. Di Jawa Timur, acara penyerahan fungsi
pengawasan tersebut dilakukan di Gedung Bank
Indonesia Wilayah IV Jawa Timur, antara Kepala
Perwakilan BI Wilayah IV Jawa Timur, Dwi Pranoto,
kepada Kepala Regional OJK Wilayah III, Adie
Soesetyantoro. Adapun wilayah kerja Kantor
Regional Wilayah III OJK meliputi Jawa Timur, Bali,
dan Nusa Tenggara.
Meski fungsi pengawasan bank telah beralih ke OJK,
Bank Indonesia sebagai bank sentral masih tetap
dapat melakukan pengawasan perbankan, khususnya
terkait dengan kehati-hatian perbankan secara
makro (makroprudensial) yang akan diarahkan pada
pengelolaan risiko sistemik termasuk risiko kredit,
risiko likuiditas, risiko pasar dan penguatan struktur
permodalan. Kebijakan makroprudensial juga
diarahkan untuk memperkuat komposisi kredit
kepada sektor-sektor produktif yang berorientasi
ekspor dan menyediakan barang substitusi impor
serta mendukung upaya peningkatan kapasitas
perekonomian.
Beberapa instrumen kebijakan yang bersifat
makroprudensial tersebut antara lain
penyempurnaan Giro Wajib Minimum (GWM) syariah,
Loan to Value (LTV), Liquidity Coverage Ratio (LCR)
dan penguatan struktur permodalan dengan
mengakomodasi unsur-unsur risiko yang lebih
kompleks dan komprehensif. Sementara dalam kaitan
kondisi perbankan secara mikro, atau institusi,
pengawasan sepenuhnya dilakukan oleh OJK.
Bank Indonesia dan OJK akan terus berkoordinasi dan
bekerja sama menciptakan sistem keuangan yang
kokoh untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan, serta melakukan komunikasi yang
lebih erat dengan stakeholders, yang ke depannya
akan semakin bertambah karena mencakup pula
lembaga-lembaga keuangan mikro. Sementara dalam
lingkup penguatan stabilitas sistem keuangan,
penguatan koordinasi makro-mikro antara Bank
Indonesia dengan OJK menjadi penting terutama
dalam mencegah dan mengatasi terjadinya krisis dan
meningkatkan kualitas Crisis Management Protocol
(CMP).
Sesuai Undang-Undang (UU) No.23 tahun 1999 yang
diperbarui dengan UU No.3 tahun 2004 tentang Bank
Indonesia dan UU No.21 tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan, fungsi pengawasan bank yang
dialihkan di Jawa Timur, meliputi 83 Bank Umum, 8
Bank Umum Syariah (BUS), 9 Unit Usaha Syarian
(UUS), 352 Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan 31
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), beralih
dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan
(OJK).
Sebelum dilaksanakan pengalihan tersebut, kinerja
perbankan sampai November 2013 telah memberikan
kontribusi yang signifikan bagi perekonomian Jawa
Timur. Tercatat total aset perbankan di Jawa Timur
mencapai Rp. 425,01 triliun atau 6,96% dari total
asset perbankan nasional. Penyaluran kredit
mencapai Rp301,51 triliun dari Dana Pihak Ketiga
(DPK) yang berhasil dihimpun sebesar Rp325,75
triliun. Sebagian besar penyaluran kredit ditujukan
untuk sektor produktif yang mendukung
pertumbuhan ekonomi Jawa Timur yang mencapai
73,51% dari total kredit. Kondisi tersebut didukung
pula dengan tingkat risiko kredit yang relatif rendah
tercermin dari jumlah non performing loan (NPL)
sebesar 1,92%. Peranan perbankan dalam mendorong
pertumbuhan inklusif di Jawa Timur tercermin pula
dari peningkatan kredit UMKM secara tahunan
sebesar 20,22% sehingga mencapai Rp86,87 triliun
dengan NPL sebesar 3,50%.
Kinerja perbankan tersebut menjadi salah satu
pendorong tercapainya pertumbuhan ekonomi Jawa
Timur. Pentingnya peranan perbankan sebagai
lembaga intermediasi membutuhkan pengawasan dari
berbagai pihak baik internal maupun eksternal
(masyarakat dan regulator) untuk memastikan
terciptanya aktivitas perbankan sehat dan aman.
Dengan beralihnya fungsi pengawasan bank ke OJK,
arah kebijakan Bank Indonesia secara nasional ke
depan lebih ditujukan pada upaya mencapai dan
memelihara stabilitas nilai Rupiah yang
diimplementasikan melalui bauran kebijakan di
bidang moneter, makroprudensial, dan
pengembangan sistem pembayaran. Sementara di
daerah, Bank Indonesia Wilayah IV Jatim akan terus
berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk
mengendalikan inflasi daerah, menjadi mitra dalam
membangun ekonomi daerah, dan bekerja sama
dengan lembaga keuangan bank maupun non bank
dalam rangka peningkatan akses keuangan seluruh
lapisan masyarakat di Jawa Timur, serta
menciptakan sistem pembayaran yang aman, lancar
dan efisien melalui operasional kliring, Real Time
Gross Settlement (RTGS) dan pengedaran uang.

OJK TERHADAP BANK SYARIAH

Perbankan konvensional sebagai bagian dari sistem ekonomi
kapitalis yang diterapkan di Indonesia tidak sepi dari
persoalan moral hazard pengelola perbankan itu sendiri.
Namun munculnya perilaku menyimpang di dunia perbankan
tidak terlepas dari sistem perbankan konvensional yang
senantiasa membuka celah terjadinya penyimpangan. Berbagai
kasus yang terjadi di perbankan mulai dari pembobolan kartu
ATM, deposito dan tabungan nasabah, kasus debt collector,
dan kasus-kasus lain seperti kasus Malinda Dee, manager di
Citibank yang membobol uang nasabahnya sendiri, telah
menunjukkan betapa persoalan perbankan kita tak kunjung
menampakkan perbaikan yang berarti. Tetapi persoalan moral
hazard tidak hanya monopoli perbankan dan lembaga keuangan
konvensional, di lembaga keuangan dan perbankan syariah.
Dengan maraknya aktivitas ekonomi Islam di Indonesia
membuat nasabah (calon nasabah) yang ingin memperoleh
keberkahan lalu menyimpan uangnya di lembaga keuangan
syariah. Pencantuman nama syariah membuat para nasabah
tersebut secara psikologis merasa nnyaman, tapi apa lacur,
ternyata oknum pengelola lembaga keuangan melakukan wan
prestasi atau tidak amanah dan secara licik memanfaatkan
kepolosan nasabah bagi keuntungan pribadi oknum tersebut.
Alhasil, banyak uang nasabah dibawa kabur dan perilaku
pendiri lemaga keuangan tersebut sungguh tidak
mencerminkan pribadi Muslim yang takut akan siksaan dari
Allah kelak apabila melakukan pendzholiman terhadap nasabah.
Silih bergantinya kasus yang terjadi di dunia perbankan dan
lembaga keuangan yang melibatkan dana masyarakat
merupakan cermin dari tidak sempurnanya manajemen
perbankan dan lembaga keuangan di Tanah Air ini dalam
melindungi kepentingan nasabah yang telah memercayakan
dananya tersebut untuk dikelola sebagaimana mestinya.
Nasabah menjadi waswas dan tidak tenang serta merasa tidak
aman untuk menyimpankan uangnya di bank dan lembaga
keuangan lain meski diberi embel-embel syariah. Nasabah
menjadi khawatir memanfaatkan produk-produk yang
ditawarkan Karena kasus yang dipaparkan di atas itu cukup
mencerminkan betapa amburadulnya sistem keamanan uang
nasabah.
Sementara itu pihak perbankan cenderung memudahkan
nasabah untuk memiliki kartu kredit tanpa mengukur secara
seksama atas kredibilitas konsumen. Manakala nasabah sudah
memperoleh kartu kredit dan ternyata gagal membayar, maka
biasanya yang dipersalahkan hanya pihak nasabah, padahal
pada saat proses persetujuan nasabah mendapatkan kartu
kredit, pihak Bank tidak melaksanakan kelayakan nasabah itu
dengan baik dan benar. Alhasil, terjadi hal-hal yang tak
diinginkan dengan penyelsaian yang tidak adil karena
ditimpakan sepenuhnya kepada nasabah. Semestinya pihak
perbankan yang memberikan kartu kredit juga dapat
dikenakan sanksi.
Perlu diketahui jika di Singapura 70% pengguna kartu kredit
membayar tagihannya dengan tunai, sementara di Indonesia
sebaliknya, 70% membayar tagihan kartu kredit dengan cara
mencicil atau angsuran. Ini berarti memang kredibilitas
pemilik kartu kredit di negara kita masih dipertanyakan.Dari
data ini amat jelas bahwa semestinya kelayakan untuk
memperoleh kartu kredit perlu diperketat bukan malah
dibiarkan melanggar ketentuan, istilah popular orang betawi
yaitu “yang penting laku urusan belakangan”. Situasi seperti
ini yang amat riskan bagi citra perbankan di Indoesia dan
bukan tidak mungkin berdampak pula pada lembaga perbankan
dan keuangan syariah apalagi karyawan di lembaga syariah
tersebut juga mayoritas berasal dari lembaga perbankan dan
keuangan konvensional.
Lebih lanjut regulator dalam hal ini Bank Indonesia (BI) dan
otoritas jasa keuangan (OJK) wajib melaksanakan pengawasan
yang ketat dan harus bertanggung jawab penuh jika nasabah
menjadi korban kejahatan perbankan/lembaga keuangan. OJK
yang mengawasi pula perbankan syariah wajib memiliki tingkat
moralitas yang tinggi karena bukankah nilai-nilai agama yang
menjadi acuan perbankan syraiah berlandaskan nilai-nilai
agama yang mulia tersebut. Tanggungjawab OJK tentu tidak
hanya di dunia tetapi juga akherat sebagaimana yang diyakini
oleh setiap Muslim yang terkait dengan kegiatan perbankan
syariah ini.
Dalam struktur organisasi perbankan syariah ada satu hal yang
perlu diperhatikan yakni kedudukan dan kewenangan DPS
(dewan pengawas syariah) yang di setiap bank syariah
ditunjuk atau diangkat oleh dewan direksi Padahal DPS
bertugas mengawasi operasional kegiatan bank syariah. Tata
cara ini tentu tidak Islami dalam arti mereka yang akan
mengawasi tetapi malah dilantik oleh mereka yang diawasi.
Aturan soal DPS dalam struktur perbankan syariah ini kiranya
perlu mendapatkan perhatian pihak OJK sebagai pihak memiliki
otoritas mengatur terlaksananya perbankan syariah sesuai
nilai-nilai mulia keagamaan. Sebaiknya DPS masuk dalam
bagian OJK yang memiliki kewenangan mengawasi perbankan
syariah sehingga DPS dianggkat oleh OJK bukan oleh bank yang
bersangkutan. Hal ini untuk mewujudkan azas-azas
profesionalitas yakni good corporate governance (GCG)
sekaligus tentu memenuhi nilai-nilai keagamaan yang
menjunjung tinggi moralitas

Rabu, 23 April 2014

ARTIKEL 4 - PEGADAIAN



PEGADAIAN
A.   Sejarah Perkembangan Pegadaian
Sejarah Pegadaian dimulai pada saat Pemerintah Penjajahan Belanda (VOC) mendirikan BANK VAN LEENING yaitu lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan sistem gadai, lembaga ini pertama kali didirikan di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746.
Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan Indonesia dari tangan Belanda (1811-1816) Bank Van Leening milik pemerintah dibubarkan, dan masyarakat diberi keleluasaan untuk mendirikan usaha pegadaian asal mendapat lisensi dari Pemerintah Daerah setempat (liecentie stelsel).Namun metode tersebut berdampak buruk, pemegang lisensi menjalankan praktek rentenir atau lintah darat yang dirasakan kurang menguntungkan pemerintah berkuasa (Inggris). Oleh karena itu, metode liecentie stelsel diganti menjadi pacth stelsel yaitu pendirian pegadaian diberikan kepada umum yang mampu membayarkan pajak yang tinggi kepada pemerintah.
Pada saat Belanda berkuasa kembali, pola atau metode pacth stelsel tetap dipertahankan dan menimbulkan dampak yang sama dimana pemegang hak ternyata banyak melakukan penyelewengan dalam menjalankan bisnisnya. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menerapkan apa yang disebut dengan ‘cultuur stelsel’ dimana dalam kajian tentang pegadaian, saran yang dikemukakan adalah sebaiknya kegiatan pegadaian ditangani sendiri oleh pemerintah agar dapat memberikan perlindungan dan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad (Stbl) No. 131 tanggal 12 Maret 1901 yang mengatur bahwa usaha Pegadaian merupakan monopoli Pemerintah dan tanggal 1 April 1901 didirikan Pegadaian Negara pertama di Sukabumi (Jawa Barat), selanjutnya setiap tanggal 1 April diperingati sebagai hari ulang tahun Pegadaian.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung Kantor Pusat Jawatan Pegadaian yang terletak di Jalan Kramat Raya 162 dijadikan tempat tawanan perang dan Kantor Pusat Jawatan Pegadaian dipindahkan ke Jalan Kramat Raya 132.Tidak banyak perubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Jepang, baik dari sisi kebijakan maupun Struktur Organisasi Jawatan Pegadaian. Jawatan Pegadaian dalam Bahasa Jepang disebut ‘Sitji Eigeikyuku’, Pimpinan Jawatan Pegadaian dipegang oleh orang Jepang yang bernama Ohno-San dengan wakilnya orang pribumi yang bernama M. Saubari.
Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia, Kantor Jawatan Pegadaian sempat pindah ke Karang Anyar (Kebumen) karena situasi perang yang kian terus memanas.Agresi militer Belanda yang kedua memaksa Kantor Jawatan Pegadaian dipindah lagi ke Magelang.Selanjutnya, pasca perang kemerdekaan Kantor Jawatan Pegadaian kembali lagi ke Jakarta dan Pegadaian kembali dikelola oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dalam masa ini Pegadaian sudah beberapa kali berubah status, yaitu sebagai Perusahaan Negara (PN) sejak 1 Januari 1961, kemudian berdasarkan PP.No.7/1969 menjadi Perusahaan Jawatan (PERJAN), selanjutnya berdasarkan PP.No.10/1990 (yang diperbaharui dengan PP.No.103/2000) berubah lagi menjadi Perusahaan Umum (PERUM) hingga sekarang.
Kini usia Pegadaian telah lebih dari seratus tahun, manfaat semakin dirasakan oleh masyarakat, meskipun perusahaan membawa misi public service obligation, ternyata perusahaan masih mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam bentuk pajak dan bagi keuntungan kepada Pemerintah, disaat mayoritas lembaga keuangan lainnya berada dalam situasi yang tidak menguntungkan.

B.   Pengertian Pegadaian
Menurut kitab undang-undang Hukum Perdata Pasal 1150, gadai adalah hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh seorang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang berpiutnag untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berhutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Perusahaan Umum Pegadaian adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas  dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1150 di atas . Tugas Pokoknya adalah memberi pinjaman kepada masyarakat atas dasar hokum gadai agar masyarakat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan informal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat.Hal ini didasari pada fakta yang terjadi di lapangan bahwa terdapat lembaga keuangan yang seperti lintah darat dan pengijon yang dengan melambungkan tingkat suku bunga setinggi-tingginya.

C.   Kegiatan Pegadaian
Kegiatan pegadaian umumnya meliputi dua hal yaitu sebagai berikut:
1.      Penghimpunan dana (funding product)
Pegadaian sebagai lembaga keuangan tidak diperkenankan secara langsung menghimpun dana dari masyarakat seperti dalam bentuk simpanan misalnya tabungan, giro, deposito sebagaimana perbankan, untuk memenuhi kebutuhan dananya untuk melakukan kegiatan usahanya maka sumberdananya yaitu:
a.       Modal sendiri terdiri dari:
·   Modal awal, yaitu kekayaan negara diluar APBN
·   Penyertaan modal pemerintah
·   Laba ditahan, laba ditahan ini merupakan akumulasi laba sejak perusahaan perum pegadaian berdiri
b.      Pinjaman jangka pendek dari perbankan
·   Dana jangka pendek sebagian besar adalah dalam bentuk (sekitar 80% dari total dana jangka pendek yang dihimpun)
·   Pinjaman jangka pendek dari pihak lainnya (utang kepada nasabah, dan lain-lain)
c.       Kerja sama dengan pihak ketiga dalam memanfaatkan aset perusahaan dalam bidang bisnis properti, seperti pembangunan gedung kantor dan pertokoan dengan sistem BOT, build, operate, dan transfer.
d.      Dari masyarakat dengan menerbitkan obligasi
e.       Mengadakan kerja sama dengan lembaga keuangan lainnya, baik perbankan maupun nonperbankan.

2.      Penggunaan dana
Dana yang berhasil dihimpun digunakan untuk mendanai perum pegadaian, dana tersebut digunakan sebagai berikut:
a.       Uang kas dan dana likuid lain
b.      Pendanaan kegiatan operasional
c.       Pembelian dan pengadaan berbagai macam bentuk aktiva tetap dan inventaris
d.      Penyaluran dana
e.       Investasi lain
f.       Pinjaman pegawai

D.   Tujuan dan Manfaat Pegadaian
Tujuan Usaha Pegadaian :
1.    Membantu orang- orang yang membutuhkan pinjaman dengan syarat mudah
2.     Untuk masyarakat yang ingin mengetahui barang yang dimilikinya, pegadaian memberikan jasa taksiran untuk mengetahui nilai barang
3.    Menyediakan jasa pada masyarakat yang ingin menyimpan barangnya
4.     Memberikan kredit kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan tetap seperti karyawan
5.     Menunjang pelaksana kebijakan dan program pemerintah dibinang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar hokum gadai
6.     Mencega praktik ijon, pegadaian gelap, riba dan pinjaman tidak wajar lainya
7.     Meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah kebawa melalui penyediaan dana atas dasar hokum gadai, dan jasa dibidang keuangan lainya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku
8.     Membina perekonomian rakyat kecil dengan menyalurkan kredit atas dasar hukum gadai kepada masyarakat
9.     Disamping penyaluran kredit, maupun usaha- usaha lainya  yang bermanfaat terutama bagi pemerintah dan masyarakat
10.  Membina pola pengkreditan supaya benar- benar terarah dan bermanfaat, terutama mengenai kredit yang bersifat produktif dan bila perlu memperluas daerah operasionalnya.

Manfaat Pegadaian

1.       Bagi Nasabah

Manfaat utama yang diperoleh nasabah yang meminjam dari perum pegadaian adalah ketersediaan dana dengan prosedur yang relatif lebih sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat terutama apabila dibandingkan dengan kredit perbankan. Disamping itu mengingat itu jasa yang ditawarkan oleh Perum Pegadaian tidak hanya jasa pegadaian, nasabah juga memperolah manfaat sebagai berikut:

a.       Penaksiran nilai suatu barang bergerak dari dari pihak atau institusi yang telah berpengalaman dan dapat dipercaya.
b.      Penitipan suatu barang bergerak pada tempat yang aman dan dapat dipercaya Nasabah yang akan berpergian, merasa kurang aman menempatkan barang bergeraknya ditempat sendiri, atau tidak mempunyai sarana penyimpanan suatu barang bergerak dapat menitipkan suatu barang bergerak dapat menitipkn barangnya di Perum Pegadaian.

2.      Bagi Perusahaan Pegadaian                                                                          
Manfaat yang diharapkan Perum Pegadaian sesuai jasa yang diberikan kepada nasabahnya adalah:
a.      Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh peminjam dana.
b.     Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah memperoleh jasa tertentu dari Perum Pegadaian.
c.      Pelaksanaan misi Perum Pegadaian sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang pembiayaan berupa pemberian bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dana dengan prosedur dan cara yang relatif sederhana.
d.     Berdasarkan Beraturan Pemerintah  No. 10 Tahun  1990, laba yang diperoleh oleh Perum Pegadaian digunakan untuk:
1)      Dana pembangunan semesta (55%)
2)      Cadangan umum (5%)
3)      Cadangan tujuan (5%)
4)      Dana sosial (20%)

E.   Pihak Yang Terlibat dan Fasilitas Yang Diberikan Oleh Perusahaan

a.Nasabah

nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank syariah dan atau Unit Usaha Syariah. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan atau Unit Usaha Syariah dalam bentuk simpanan berdasarkan akad antara bank syariah atau Unit Usaha Syariah dan nasabah yang bersangkutan. Nasabah investor adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan atau Unit Usaha Syariah dalam bentuk investasi

b.Petugas Penaksir

c.Kasir

pemegang kas (uang); orang yg bertugas menerima dan membayarkan uang
Fasilitas Yang Diberikan oleh Perusahaan Pegadaian

a)Pendanaan kegiatan operasional

Kegiatan operasional Perum Pegadaian memerlukan dana yang tidak kecil. Dana ini antara lain digunakan untuk : gaji pegawai, honor, perawatan peralatan, dan lain-lain.

b)Penyaluran dana

Pengunaan dana yang utama adalah untuk disalurkan dalam bentuk pembiayaan datas dasar hukum gadai. Lebih dari 50% dana yang telah dihimpun oleh Perum Pegadaian tertanam dalam bentuk aktiva ini, karena memang ini merupakan kegiatan utamanya. Penyaluran dana ini diharapkan akan dapat menghasilkan keuntungan, meskipun tetap dimungkinkan untuk mendapatkan penerimaan dari bunga yang dibayarkan oleh nasabah. Penerimaan inilah yang merupakan penerimaan utama bagi Perum Pegadaian dalam menghasilkan keuntungan, meskipun tetap ,dimungkinkan untuk mendapatkan penerimaan dari sumber yang lain seperti investasi surat berharga dan pelelangan jaminan gadai.

c)Investasi lain

Kelebihan dana (idle fund) yang belum diperlukan untuk mendanai kegiatan operasional maupun belum dapat disalurkan kepada masyarakat, dapat ditanamkan dalam berbagai macam bentuk investasi jangka pendek dan menengah. Investasi ini dapat menghasilkan penerimaan bagi Perum Pegadaian, namun penerimaan ini bukan merupakan penerimaan utama yang diharapkan oleh Perum Pegadaian. Sebagai contoh, Perum Pegadaian dapat memanfaatkan dananya untuk investasi dibidang property, seperti kantor dan took. Pelaksanaan investasi ini biasanya bekerja sama dengan pihak ketiga seperti pengembang (developer), kontraktor, dan lain-lain.
F.    Mekanisme Pegadaian

I.     Mekanisme transaksi menggadaikan barang

Alur proses transaksi oleh nasabah adalah sebagai berikut :

1.  Nasabah datang kemudian dilayani oleh petugas.
2.  Petugas mengecek apakah nasabah telah terdaftar sebagai member atau tidak, jika telah terdaftar maka nasabah dapat melakukan transaksi menggadaikan barang. Namun jika belum terdaftar maka petugas akan menginformasikan kepada nasabah untuk mendaftar sebagai member pegadaian terlebih dahulu.
3.  Untuk satu transaksi pinjaman uang, nasabah memberikan satu atau lebih barang sebagai jaminan.
4.  Barang yang dijaminkan dicatat jenis, merk, tipe, tanggal pembelian, tanggal tebus, keterangan mengenai barang tersebut.
5.  Kemudian proses selanjutnya yaitu menaksir harga barang yang dijaminkan. Pegadaian mempunyai data mengenai harga barang berdasarkan jenis, merek dan tipe barangnya untuk memudahkan dalam penaksiran barang.Hanya barang – barang yang ada dalam daftar ini yang dapat diterima sebagai barang jaminan / digadaikan.Petugas mengentry data – data barang yang digadaikan, kemudian system memproses perhitungan harrga taksiran barang tersebut.
6.  Setelah penaksiran harga barang jaminan selesai, maka petugas yang melayani transaksi pinjaman baru bisa menentukan berapa pinjaman yang bisa diberikan. Besar pinjaman yang harus dikembalikan oleh nasabah adalah sebesar pinjaman ditambah bunga sesuai ketentuan dari pegadaian.
7.  Pegadaian menawarkan berbagai  paket – paket produk jasa yang dimiliki oleh pegadaian sehingga nasabah dapat menetukan pilihannya sesuai dengan kebutuhannya.
 

II.   Mekanisme transaksi pembayaran cicilan pinjaman

1.  Nasabah datang kemudian dilayani oleh petugas.
2.  Petugas mencatat kapan nasabah melakukan pembayaran angsuran, besar angsuran, dan tanggal seharusnya membayar kapan. Jika ternyata melebihi tanggal yang seharusnya maka akan dikenai denda.
3.  Jika masa pinjaman berakhir dan angsuran belum lunas maka barang – barang yang dijaminkan dianggap hangus dan tidak bisa ditebus lagi. Barang – barang tersebut akan dilelang oleh pihak pegadaian.
 

III.         Mekanisme transaksi pelelangan

1.  Petugas melelang barang – barang kepada nasabah.
2.  Nasabah dapat melakukan penawaran harga terhadap barang yang dilelang, jika penawaran disetujui oleh pegadaian maka barang tersebut telah menjadi milik nasabah tersebut.
3.  Barang – barang yang sudah laku dilelang dicatat kapan barang itu dilelang, harga lelang, serta siapa pembelinya. Untuk pembelinya dicatat data pribadinya (nama, no. KTP, alamat, dsb).

 


REFERENSI :